Tidak banyak yang tahu bahwa selama hidupnya, Soekarno tidak pernah mendapat gelar Pahlawan Nasional secara langsung dari pemerintah. Bersama Mohammad Hatta, Soekarno hanya pernah mendapat gelar Pahlawan Proklamator dari pemerintahan Soeharto pada 1986.
Gelar Pahlawan Nasional secara tidak langsung baru diterima Soekarno
pada 2009 atau 64 tahun setelah Indonesia merdeka, yakni saat UU Nomor
20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan disahkan.
Dalam
penjelasan pasal 4 ayat 1, disebutkan yang dimaksud dengan 'Pahlawan
Nasional' adalah Gelar yang diberikan oleh negara yang mencakup semua
jenis gelar yang pernah diberikan sebelumnya, yaitu Pahlawan Perintis
Kemerdekaan, Pahlawan Kemerdekaan Nasional, Pahlawan Proklamator,
Pahlawan Kebangkitan Nasional, Pahlawan Revolusi, dan Pahlawan Ampera.
"Soekarno
otomatis menjadi Pahlawan Nasional. Jadi Pahlawan Nasional diberikan
bukan atas penilaian prestasi dirinya, seperti pahlawan nasional yang
lain," kata pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie saat berbincang
dengan merdeka.com, Senin (4/6).
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi ini mengatakan, Pahlawan Proklamator yang pernah diberikan kepada Soekarno
dan Hatta adalah konsepsi nilai kepahlawanan keduanya sebagai dwi
tunggal dalam peristiwa Proklamasi 17 Agustus 1945. Bukan nilai
kepahlawanan dari 'pribadi Soekarno' dan 'pribadi Hatta'.
"Makanya dampaknya sekarang tidak ada jalan Soekarno, yang ada hanya jalan Soekarno-Hatta dan Bandara Soekarno-Hatta," kata Jimly.
Dia mengatakan, nilai kepahlawanan dari sosok Soekarno
memang tidak perlu diragukan lagi. Namun, agar catatan sejarah bangsa
ini lengkap, maka pemerintah harus mengukuhkan kembali gelar
kepahlawanan bagi Bung Karno.
"Harus dikukuhkan lewat sebuah keppres (keputusan presiden)," ujar guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia ini.
Keppres, kata Jimly, nantinya tidak hanya berisi soal pengukuhan kembali Soekarno sebagai Pahlawan Nasional, namun juga soal rehabilitasi nama sang proklamator. Seperti diketahui, nama Soekarno pernah tercemar karena dituduh terlibat dalam pemberontakan 30 September 1956.
Hal itu tertulis dalam pertimbangan TAP XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno.
"Bahwa
ada petunjuk-petunjuk, yang Presiden Sukarno telah melakukan
kebijaksanaan yang secara tidak langsung menguntungkan G-30-S/PKI dan
melindungi tokoh-tokoh G-30-S/PKI," demikian bunyi ketetapan yang
dikeluarkan 12 Maret 1967.
Tidak hanya itu, TAP XXXIII/MPRS/1967
juga turut menyeret-nyeret pendiri Partai Nasional Indonesia itu ke
persoalan hukum. Dalam BAB II ketetapan tertulis, "Menetapkan
penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr. Ir.
Sukarno, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka
menegakkan hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksanaannya kepada
Pejabat Presiden."
Setelah memerintah, Soeharto memang tidak melakukan tindakan hukum terhadap Soekarno.
TAP MPR RI Nomor I/MPR/2003, yang meninjau TAP MPR dari 1960 sampai
2002, juga sudah menyatakan TAP XXXIII/MPRS/1967 tidak memerlukan
tindakan hukum apapun.
"Namun, meski proses hukum terhadap Bung
Karno memang dianggap sudah selesai, tapi dampak politik TAP
XXXIII/MPRS/1967 belum selesai, masih perlu tindakan rehabilitasi sesuai
UUD 45," tegas Jimly.
Jimly mengakui saat ini bangsa Indonesia memang sudah menghargai Soekarno dengan tinggi. Sebagian besar masyarakat juga sudah mengakui bahwa Soekarno
adalah yang pertama kali mencetuskan gagasan Pancasila. Namun, keppres
tetap diperlukan untuk melengkapi catatan sejarah bangsa ini.
"Tidak perlu diteliti lagi soal kepahlawanan Soekarno. Tinggal dikukuhkan lagi lewat sebuah keppres," ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar